Nasib Tragis Para Pemberantas Korupsi Yang Harus Mendekam di Sel Bak Penjahat

Maksud hati mau menjebloskan para garong uang negara ke tahanan, kok malah ditahan, lho kok bisa?
Maksud hati mau menjebloskan para garong uang negara ke tahanan, kok malah ditahan, lho kok bisa? (Pic Jawapos)
Dua pimpinan KPK itu kini tinggal di Blok A. Ini bukan alamat rumah. Tapi alamat kamar tahanan di Markas Brimob, Kelapa Dua, Depok. Rumah tahanan itu banyak menyimpan terpidana korupsi. Bibit Samad Rianto dan Chandra Hamzah tinggal di kamar yang berbeda. Sesudah keduanya digiring ke ruang tahanan, kasus ini tampaknya mengelinding cepat. Kian mendidih pula. Sejumlah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) mengecam, para mahasiswa unjuk rasa di Mabes Polri, sokongan mengalir bak air bah di facebook, twitter dan puluhan tokoh rela menjaminkan diri demi penangguhan penahanan.
Dan setelah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Kapolri Jenderal Bambang Hendarso menjelaskan kasus ini, sokongan untuk Bibit dan Chandra terus saja menguat.
Hari ini Abdurrahman Wahid datang ke kantor Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Kuningan, Jakarta Pusat. Mantan Presiden itu juga mau menjaminkan diri demi penangguhan penahanan Bibit dan Chandra.
Selasa pekan depan, Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang terbuka. Di situ akan diperdengarkan kaset rekaman pembicaraan sejumlah orang. Pembicaraan itu diduga berisi rencana untuk menjadikan Bibit dan Chandra sebagai tersangka.
Kalau rekaman itu benar-benar berisi rencana rekayasa itu dan dilakukan oleh aparat hukum, tentu saja kasus ini masih menyita perhatian publik.
Dan di tengah keriuhan itu, ada baiknya kita melihat kembali perjalanan kasus ini. Mengapa Bibit dan Chandra jadi tersangka. Siapa Anggoro Widjojo, Anggodo, Ary Mulyadi, dan Yulianto. Dan mengapa pula KPK melepas cekal Joko Soegiarto Chandra.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) akhirnya angkat bicara tentang dugaan rekayasa kriminalisasi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Selain membantah ikut mengintervensi penanganan kasus tersebut, SBY memerintah polisi mengusut rekaman hasil penyadapan KPK dan transkrip rekaman yang dimuat sejumlah media massa. ''Jangan ada dusta di antara kita,'' ujar SBY dalam keterangan pers di Istana Negara kemarin (30/10).   Ketika memberikan keterangan pers, Presiden SBY didampingi Kapolri Jenderal Bambang Hendarso Danuri dan Jaksa Agung Hendarman Supandji. ''Saya perintahkan Kapolri melihat rekaman, siapa yang bercakap-cakap, apakah mengarah kepada kasus Chandra dan Bibit.''  Presiden meminta Kapolri menyelidiki pelaku penyadapan dan melihat apakah penyadapan tersebut sudah sesuai aturan perundang-undangan. Itu dilakukan karena nama SBY dikaitkan dalam transkrip tersebut. ''Kalau menyadap semaunya, ini bisa jadi lautan penyadapan,'' kata SBY. ''Bagaimana (transkrip rekaman penyadapan itu) bisa beredar?''  SBY membantah ada upaya sistematis untuk melemahkan KPK melalui kriminalisasi terhadap dua pimpinan KPK nonaktif, Bibit Samad Rianto dan Chandra M. Hamzah. Dia dengan tegas menolak penggunaan kata ''kriminalisasi KPK'' dalam penahanan Bibit dan Chandra. Dia juga meminta masyarakat membedakan kriminalisasi KPK dengan perkara penyuapan dan pemerasan yang disangkakan kepada Bibit dan Chandra.  ''Hati-hati menggunakan kata kriminalisasi. Kriminalisasi KPK, kriminalisasi MK (Mahkamah Konstitusi), kriminalisasi lembaga kepresidenan, saya tidak paham. Bedakan seseorang yang sedang menjalani proses hukum dengan lembaganya,'' tegas SBY.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) akhirnya angkat bicara tentang dugaan rekayasa kriminalisasi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Selain membantah ikut mengintervensi penanganan kasus tersebut, SBY memerintah polisi mengusut rekaman hasil penyadapan KPK dan transkrip rekaman yang dimuat sejumlah media massa. ''Jangan ada dusta di antara kita,'' ujar SBY dalam keterangan pers di Istana Negara kemarin (30/10). Ketika memberikan keterangan pers, Presiden SBY didampingi Kapolri Jenderal Bambang Hendarso Danuri dan Jaksa Agung Hendarman Supandji. ''Saya perintahkan Kapolri melihat rekaman, siapa yang bercakap-cakap, apakah mengarah kepada kasus Chandra dan Bibit.'' Presiden meminta Kapolri menyelidiki pelaku penyadapan dan melihat apakah penyadapan tersebut sudah sesuai aturan perundang-undangan. Itu dilakukan karena nama SBY dikaitkan dalam transkrip tersebut. ''Kalau menyadap semaunya, ini bisa jadi lautan penyadapan,'' kata SBY. ''Bagaimana (transkrip rekaman penyadapan itu) bisa beredar?'' SBY membantah ada upaya sistematis untuk melemahkan KPK melalui kriminalisasi terhadap dua pimpinan KPK nonaktif, Bibit Samad Rianto dan Chandra M. Hamzah. Dia dengan tegas menolak penggunaan kata ''kriminalisasi KPK'' dalam penahanan Bibit dan Chandra. Dia juga meminta masyarakat membedakan kriminalisasi KPK dengan perkara penyuapan dan pemerasan yang disangkakan kepada Bibit dan Chandra. ''Hati-hati menggunakan kata kriminalisasi. Kriminalisasi KPK, kriminalisasi MK (Mahkamah Konstitusi), kriminalisasi lembaga kepresidenan, saya tidak paham. Bedakan seseorang yang sedang menjalani proses hukum dengan lembaganya,'' tegas SBY.
Bibit Samad Rianto dan Chandra Hamzah dijadikan tersangka dengan tuduhan menyalagunakan wewenang. Penyalahgunaan wewenang itu dilakukan saat mencekal bos PT Masaro Radiokom, Anggoro Widjojo dan mencabut pencekalan atas mantan bos PT Era Giat Prima, Djoko Soegiarto Tjandra.
Anggoro Widjojo dicekal tanggal 22 Agustus 2008. KPK meminta Dirjen imigrasi mencekal si Anggoro ini dan tiga petinggi Masaro karena diduga terlibat kasus suap Tanjung Api-Api.
Dalam proses penelusuran kasus ini, para penyidik KPK  menemukan bahwa Anggoro juga tersangkut kasus korupsi Sistem Komunikasi Radio Terpadu di Departemen Kehutanan.  Karena buktinya kuat, Anggoro dijadikan tersangka untuk kasus yang kedua itu.
Penyidik KPK lalu memburu Anggoro ini ke segala penjuru. Tapi hingga Bibit dan Chandra dikurung polisi, keberadaan Anggoro itu masih misterius. Jumat kemarin, adiknya yang bernama Anggodo mendadak muncul di Mabes Polri. Dia datang melaporkan Bibit dan Chandra yang sudah menginap ditahanan itu.
Lupakan dulu Anggoro, masih bicarakan soal Joko Soegiarto Chandra. Upaya KPK mencabut cekal atas Djoko Tjandra ini semula memang menimbulkan tanda Tanya dibenak banyak orang. Mengapa KPK begitu mudah mencabut pencekalan itu.
Sebelum menghakimi, dengarlah dulu kisah dari kubu Bibit dan Chandra ini. Kamis, 1 Oktober 2009, Ahmad Rifa’i, kuasa hukum keduanya, berkisah  panjang lebar soal kasus Joko Tjandra itu.
Semula, kata Ahmad, Joko diduga mengalirkan uang ke Arthalyta Suryani. Ini nama yang kondang setahun lalu. Arthalyta –yang digambarkan oleh sejumlah media massa sebagai pelobi tingkat tinggi, pernikahan anaknya dihadiri pejabat kelas atas —menyuap Jaksa Urip Tri Gunawan untuk menyelamatkan bosnya dari jeratan kasus Bantuan Likuditas Bank Indonesia (BLBI).
Dari berbagai penelusuran yang dilakukan , para penyidik KPK tidak menemukan bukti yang menguatkan adanya aliran dana ke Arthlyta itu. Lalu ke mana duit itu mengalir?.
Vivanews & Jawapos to part II

VISITORS

Visit Country

free counters

coment in here

wibiya widget