Profesor C. P. Wolff Schoemaker adalah salah seorang arsitek terkemuka Belanda yang banyak berkarya di Indonesia, terlebih Kota Bandung. Banyak dari karya-karyanya, menjadi bangunan monumental yang sarat nilai-nilai sejarah. Beberapa diantaranya, bisa dikatakan sebagai landmark-nya Kota Bandung. Beberapa kriteria dalam menentukan daftar 5 besar ikon Bandung ini, antara lain: latar belakang sejarah, ragam arsitektur dan keterkenalan. Berikut 5 karya C. P. Wolff Schoemaker yang menjadi ikon Bandung.
1. Gedung Merdeka (Sociteit Concordia), Jl. Asia Afrika No. 65
Gedung Merdeka merupakan salah satu gedung bersejarah yang terletak di pusat kota Bandung. Gedung ini pernah digunakan sebagai tempat diselenggarakannya Konferensi Asia Afrika pada tahun 1955. Selain itu, pernah pula digunakan sebagai tempat sidang-sidang sekaligus Sekretariat Konstituante (1956-1959). Kantor Badan Perancang Nasional, Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) Tahun 1960-1965, Konferensi Islam Asia-Afrika pada Tahun 1965, dan pertemuan-pertemuan lain yang bersifat nasional maupun internasional.
Pada mulanya gedung ini merupakan bangunan sederhana yang didirikan pada tahun 1895 dan berfungsi sebagai warung kopi. Seiring dengan berkembangnya Bandung, gedung ini menjadi satu-satunya tempat pertemuan resmi orang-orang Eropa di Bandung tempo dulu. Menjelang Konferensi Asia Afrika, gedung ini diambil oleh pemerintah dan dipersiapkan untuk dijadikan tempat konferensi (1954). Presiden Soekarno mengganti nama ini dari Sociteit Concordia menjadi Gedung Merdeka, takala meninjau kesiapan gedung ini sebagai tempat konferensi. Gedung ini sekarang, kerap menjadi lokasi wisata favorit keluarga dan kawula muda untuk sekedar berkumpul dan berfoto-foto.
2. Observatorium Bosscha, Lembang-Bandung
Walaupun bukan terletak persis di Kota Bandung, Observatorium Bosscha sangat identik dengan Bandung. Bocccha merupakan salah satu tempat peneropongan bintang tertua di Indonesia. Observatorium Bosscha (dahulu bernama Bosscha Sterrenwacht) dibangun demi memajukan Ilmu Astronomi di Hindia Belanda oleh Nederlandsch-Indische Sterrenkundige Vereeniging (NISV) atau Perhimpunan Bintang Hindia Belanda. Orang yang paling berjasa dalam pembangunan observatorium ini Karel Albert Rudolf Bosscha, seorang tuan tanah di perkebunan teh Malabar. Sebagai penghargaan atas jasa K.A.R. Bosscha, maka nama Bosscha diabadikan sebagai nama observatorium ini. Kemudian pada tanggal 17 Oktober 1951, NISV menyerahkan observatorium ini kepada pemerintah RI, yang pengoperasiannya menjadi bagian dari ITB. Sampai saat ini, Bosscha menjadi rujukan dunia astronomi di Indonesia dan kerap pula dijadikan lokasi edu wisata terkenal di Bandung.
3. Villa Isola (Rektorat UPI), Jl. Setiabudhi
Villa Isola adalah bangunan villa yang terletak di kawasan pinggiran utara Kota Bandung. Berlokasi pada tanah tinggi, di sisi kiri jalan menuju Lembang (Jln. Setiabudhi). Villa Isola adalah salah satu bangunan bergaya arsitektur Art Deco yang banyak dijumpai di Bandung.
Villa Isola dibangun pada tahun 1933, milik seorang hartawan Belanda bernama Dominique Willem Berretty. Kemudian bangunan mewah yang dijadikan rumah tinggal ini dijual dan menjadi bagian dari Hotel Savoy Homann. Perkembangan selanjutnya, ia dijadikan Gedung IKIP (sekarang UPI) dan digunakan sebagai kantor rektorat. Pada masa pendudukan Jepang, Gedung ini sempat digunakan sebagai kediaman sementara Jendral Hitoshi Imamura saat menjelang Perjanjian Kalijati dengan Pemerintah terakhir Hindia Belanda di Kalijati, Subang, Maret 1942.
4. Hotel Preanger, Jl. Asia Afrika
Grand Hotel Preanger adalah salah satu hotel besar bintang 5 dan tertua di Bandung. Pada tahun 1884, ketika para Priangan planters (pemilik perkebunan di Priangan ) mulai berhasil dalam usaha pertanian dan perkebunan di sekitar kota Bandung – dahulu bernama Priangan – mereka mulai sering datang untuk menginap dan berlibur ke Bandung. Kebutuhan mereka disediakan oleh sebuah toko di Jalan Groote Postweg (sekarang Jalan Asia Afrika). Tetapi kemudian toko itu bangkrut, sehingga pada tahun 1897 oleh seorang Belanda bernama W.H.C. Van Deeterkom toko itu diubah menjadi sebuah hotel dan diberi nama Hotel Preanger Kemudian pada tahun 1920 berubah menjadi Grand Hotel Preanger.
Selama seperempat abad Grand Hotel Preanger yang berarsitektur gaya Indische Empire menjadi kebanggaan orang-orang Belanda di Kota Bandung yang kemudian pada akhirnya direnovasi dan didesain ulang pada tahun 1929 oleh C.P. Wolff Schoemaker dibantu oleh muridnya, Ir. Soekarno (mantan Presiden RI pertama). Namanya kemudian menjadi lebih terkenal, baik di dalam maupun di luar negeri dan menjadi suatu kebanggaan bagi masyarakat pada saat itu bila mereka menginap di hotel tersebut.
5. Gedung Jaarbeurs (KOLOGDAM), Jl. Aceh
Kalau di Batavia ada Pasar Gambir jaman baheula yang jadi cikal bakal Jakarta Fair, di Bandung ternyata juga ada. Namanya Jaarbeurs atau Annual Trade Fair, yang kalau diterjemahkan : Bursa dagang tahunan. Dari tahun 1920 sampai 1924 Jaarbeurs dilaksanakan di area sebelah Selatan lapangan olah raga Nederland Indie Athletiek Unie – NIAU, yang sekarang dikenal sebagai Gelora Saparua.
Baru pada tahun 1925 gedung utama Jaarbeurs selesai dibangun dengan gaya art deco dengan tiga patung torso Atlas bugil di bagian atapnya dan tulisan Jaarbeurs di bagian bawah. Patung-patung ini pernah ditutup untuk waktu yang lama karena dianggap melanggar kesopanan, namun sekarang telah dibuka kembali. Menurut cerita, seniman yang juga pahlawan nasional Ismail Marzuki ketemu jodohnya Eulis Zuraidah, di arena Jaarbeurs ini. Makanya tak heran, gedung ini menjadi lokasi favorit pasangan muda untuk melangsungkan resepsi pernikahan sekarang. (**)
1. Gedung Merdeka (Sociteit Concordia), Jl. Asia Afrika No. 65
Gedung Merdeka merupakan salah satu gedung bersejarah yang terletak di pusat kota Bandung. Gedung ini pernah digunakan sebagai tempat diselenggarakannya Konferensi Asia Afrika pada tahun 1955. Selain itu, pernah pula digunakan sebagai tempat sidang-sidang sekaligus Sekretariat Konstituante (1956-1959). Kantor Badan Perancang Nasional, Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) Tahun 1960-1965, Konferensi Islam Asia-Afrika pada Tahun 1965, dan pertemuan-pertemuan lain yang bersifat nasional maupun internasional.
Pada mulanya gedung ini merupakan bangunan sederhana yang didirikan pada tahun 1895 dan berfungsi sebagai warung kopi. Seiring dengan berkembangnya Bandung, gedung ini menjadi satu-satunya tempat pertemuan resmi orang-orang Eropa di Bandung tempo dulu. Menjelang Konferensi Asia Afrika, gedung ini diambil oleh pemerintah dan dipersiapkan untuk dijadikan tempat konferensi (1954). Presiden Soekarno mengganti nama ini dari Sociteit Concordia menjadi Gedung Merdeka, takala meninjau kesiapan gedung ini sebagai tempat konferensi. Gedung ini sekarang, kerap menjadi lokasi wisata favorit keluarga dan kawula muda untuk sekedar berkumpul dan berfoto-foto.
2. Observatorium Bosscha, Lembang-Bandung
Walaupun bukan terletak persis di Kota Bandung, Observatorium Bosscha sangat identik dengan Bandung. Bocccha merupakan salah satu tempat peneropongan bintang tertua di Indonesia. Observatorium Bosscha (dahulu bernama Bosscha Sterrenwacht) dibangun demi memajukan Ilmu Astronomi di Hindia Belanda oleh Nederlandsch-Indische Sterrenkundige Vereeniging (NISV) atau Perhimpunan Bintang Hindia Belanda. Orang yang paling berjasa dalam pembangunan observatorium ini Karel Albert Rudolf Bosscha, seorang tuan tanah di perkebunan teh Malabar. Sebagai penghargaan atas jasa K.A.R. Bosscha, maka nama Bosscha diabadikan sebagai nama observatorium ini. Kemudian pada tanggal 17 Oktober 1951, NISV menyerahkan observatorium ini kepada pemerintah RI, yang pengoperasiannya menjadi bagian dari ITB. Sampai saat ini, Bosscha menjadi rujukan dunia astronomi di Indonesia dan kerap pula dijadikan lokasi edu wisata terkenal di Bandung.
3. Villa Isola (Rektorat UPI), Jl. Setiabudhi
Villa Isola adalah bangunan villa yang terletak di kawasan pinggiran utara Kota Bandung. Berlokasi pada tanah tinggi, di sisi kiri jalan menuju Lembang (Jln. Setiabudhi). Villa Isola adalah salah satu bangunan bergaya arsitektur Art Deco yang banyak dijumpai di Bandung.
Villa Isola dibangun pada tahun 1933, milik seorang hartawan Belanda bernama Dominique Willem Berretty. Kemudian bangunan mewah yang dijadikan rumah tinggal ini dijual dan menjadi bagian dari Hotel Savoy Homann. Perkembangan selanjutnya, ia dijadikan Gedung IKIP (sekarang UPI) dan digunakan sebagai kantor rektorat. Pada masa pendudukan Jepang, Gedung ini sempat digunakan sebagai kediaman sementara Jendral Hitoshi Imamura saat menjelang Perjanjian Kalijati dengan Pemerintah terakhir Hindia Belanda di Kalijati, Subang, Maret 1942.
4. Hotel Preanger, Jl. Asia Afrika
Grand Hotel Preanger adalah salah satu hotel besar bintang 5 dan tertua di Bandung. Pada tahun 1884, ketika para Priangan planters (pemilik perkebunan di Priangan ) mulai berhasil dalam usaha pertanian dan perkebunan di sekitar kota Bandung – dahulu bernama Priangan – mereka mulai sering datang untuk menginap dan berlibur ke Bandung. Kebutuhan mereka disediakan oleh sebuah toko di Jalan Groote Postweg (sekarang Jalan Asia Afrika). Tetapi kemudian toko itu bangkrut, sehingga pada tahun 1897 oleh seorang Belanda bernama W.H.C. Van Deeterkom toko itu diubah menjadi sebuah hotel dan diberi nama Hotel Preanger Kemudian pada tahun 1920 berubah menjadi Grand Hotel Preanger.
Selama seperempat abad Grand Hotel Preanger yang berarsitektur gaya Indische Empire menjadi kebanggaan orang-orang Belanda di Kota Bandung yang kemudian pada akhirnya direnovasi dan didesain ulang pada tahun 1929 oleh C.P. Wolff Schoemaker dibantu oleh muridnya, Ir. Soekarno (mantan Presiden RI pertama). Namanya kemudian menjadi lebih terkenal, baik di dalam maupun di luar negeri dan menjadi suatu kebanggaan bagi masyarakat pada saat itu bila mereka menginap di hotel tersebut.
5. Gedung Jaarbeurs (KOLOGDAM), Jl. Aceh
Kalau di Batavia ada Pasar Gambir jaman baheula yang jadi cikal bakal Jakarta Fair, di Bandung ternyata juga ada. Namanya Jaarbeurs atau Annual Trade Fair, yang kalau diterjemahkan : Bursa dagang tahunan. Dari tahun 1920 sampai 1924 Jaarbeurs dilaksanakan di area sebelah Selatan lapangan olah raga Nederland Indie Athletiek Unie – NIAU, yang sekarang dikenal sebagai Gelora Saparua.
Baru pada tahun 1925 gedung utama Jaarbeurs selesai dibangun dengan gaya art deco dengan tiga patung torso Atlas bugil di bagian atapnya dan tulisan Jaarbeurs di bagian bawah. Patung-patung ini pernah ditutup untuk waktu yang lama karena dianggap melanggar kesopanan, namun sekarang telah dibuka kembali. Menurut cerita, seniman yang juga pahlawan nasional Ismail Marzuki ketemu jodohnya Eulis Zuraidah, di arena Jaarbeurs ini. Makanya tak heran, gedung ini menjadi lokasi favorit pasangan muda untuk melangsungkan resepsi pernikahan sekarang. (**)