Dalam wawancara dengan Ynet, Prof. Ruby Seibel, mantan penasehat hukum Kementerian Luar Negeri dan seorang ahli hukum internasional mengatakan, “Kita harus mengiyakan negara Palestina, tapi kita tentukan kondisinya.”
“Saya pikir pendekatan yang diambil pemerintah salah,” jelas Prof. Siebel, “Tidak ada gunanya berjuang melawan pengakuan. Telah hampir menjadi konsensus internasional dalam mendukung pembentukan negara Palestina.
“Jika (Palestina) memproklamasikan pembentukan negara –hampir semua orang akan mengakui mereka, dan ini akan tercermin dalam Majelis Umum (PBB).”
Profesor Siebel menawarkan pendekatan baru untuk berurusan dengan Palestina: “Kita harus mengiyakan, tapi …”
“Ini cara kita meninggalkan masalah itu sehingga Palestina harus berdiskusi dengan kita, misalnya perlintasan dari Gaza ke Tepi Barat, yang mereka tidak bisa melakukannya secara sepihak,” katanya.
Siebel menekankan bahwa pengakuan negara Palestina secara kondisional akan mengurangi tekanan internasional pada Yerusalem saat ini. “Kami memiliki kepentingan lain di konflik ini, yaitu mengubah citra internasional atas konflik seperti yang digambarkan oleh Palestina –konflik antara satu negara dan rakyat yang dijajah– menjadi konflik antara dua negara.”
Mantan Duta Besar Israel untuk Uni Eropa dan Jerman, Avi Primor mengatakan bahwa dalam kasus pemungutan suara di Majelis Umum PBB September ini, Israel harus abstain, namun kemudian mengakui negara Palestina.
“Jika voting dilakukan, kita harus menyatakan bahwa kita mengakui negara Palestina, namun dengan perbatasan sementara,” katanya.
“Ini akan membantu menyuguhkan masalah ini secara positif. Perdana Menteri Bibi (Benyamin Netanyahu) sudah mengucapkan kata-kata ‘solusi dua negara’ dan ‘negara Palestina’ saat pidatonya di depan Kongres Amerika. Jadi apa yang mencegah kita untuk mengakui negara tersebut –tanpa menentukan perbatasan final– dan melanjutkan pembicaraan dengan Palestina, namun di bawah bendera negoisasi dengan negara, bukan dengan otonomi seperti sekarang?”
“Kami Tidak Benar-Benar Berkomitmen”
Primor mengritik pemerintah, menyatakan pemerintah tidak ingin perjanjian abadi dengan Palestina.” Pendekatan Israel bisa saja benar, jika kita menawarkan Palestina negosiasi yang praktis dan handal,” katanya.
“Palestina ingin bernegosiasi dengan kita, kemudian kenapa mereka tidak datang? Karena mereka punya alasan untuk percaya bahwa kita tidak benar-benar berkomitmen pada negosiasi, tetapi lebih percaya kita hanya ingin mengulur masalah dan mengangkat tekanan internasional, tanpa mencapai hasil apa pun.”
Menurut Primor, “Sebuah proses perdamaian murni akan meningkatkan citra kita di negara seperti Turki dan negara Arab.”
Moshe Arad yang pernah menjabat sebagai duta besar Israel untuk Washington antara 1987-1990, juga berpendapat Yerusalem harus mengakui Palestina dengan persyaratan tertentu.
“Saya tidak melihat pilihan lain selain menunjukkan inisiatif politik dengan kerjasama Amerika Serikat berdasarkan perbatasan tahun 1967, dengan perubahan seperlunya,” katanya.
Serupa dengan Primor, Arad juga menyukai pidato Netanyahu. “Ketekunan pemerintah saat ini akan menyebabkan tidak adanya kesepakatan dengan Palestina dan beban berat pada kualitas hubungan dengan Amerika Serikat,” katanya.(ynet)