Aku baru menyadarinya siang itu, sepulang mengambil setumpuk undangan walimah yang desainnya kupilih-pilih bersama Ibu. Sambil tetap berkonsentrasi menyetir di keramaian lalu lintas, kulirik Ibu yang membisu di sampingku. Kepala Ibu tertunduk, lekat tertuju pada kertas merah jambu di tangannya.
Ada telaga di mata ibu. Bening dan mulai meluap. Setetes demi setetes. Membanjiri pipi Ibu yang mulai berkerut digilas roda usia. Aku menduga ibu sedang menangis bahagia. Atau sedih? bisik hati kecilku gundah.
Kucoba mencari tahu dengan bertanya pelan kepadanya.
Ibu tersipu seraya mengusap lelehan bening itu. Mulailah beliau mencurahkan isi hatinya.
“Waktu kamu harus pergi meninggalkan Ibu untuk kuliah di kota lain, berhari-hari Ibu gelisah dan tidak bisa tidur. Tapi ayahmu berusaha menghibur Ibu. Kata Ayah, memang sudah waktunya kamu pergi dan lepas dari kami. Kelak bila tiba waktunya, kamu juga akan dibawa pergi suamimu,” tutur Ibu bergetar. Lalu ia terdiam. Undangan merah jambu itu kini tergeletak di pangkuannya.
“Akhirnya saat yang dikatakan ayahmu tiba juga…,” lanjutnya lirih.
Aku tertegun. Mencoba berempati. Membayangkan jika aku berada di posisinya. Andai aku adalah seorang wanita yang telah ditinggal wafat suami tercinta, yang di rahimnya pernah dititipkan tiga buah hati yang kini telah beranjak dewasa. Si sulung yang kini menetap jauh di kota metropolitan. Si bungsu yang sedang menjalani kuliah tingkat akhir di kota lain. Dan ada si anak tengah, yang belum lama ini kembali ke “pangkuan”-nya setelah lima tahun lebih merantau ke pulau seberang demi menuntut ilmu. Tiba-tiba saja ada seorang pria, yang berstatus “bukan siapa-siapa”, akan membawa pergi gadis yang baru saja menginjak usia seperempat abad itu.
Bukan siapa-siapa?
Aku menghela napas. Si anak tengah itu adalah aku. Dan pria yang “bukan siapa-siapa” itu adalah calon suamiku. Namun saat aku “dibawa pergi” olehnya nanti, statusnya telah berubah menjadi suamiku, seorang lelaki yang kepadanya kupersembahkan seluruh baktiku. Seorang lelaki yang haknya atas diriku melampaui hak wanita yang melahirkanku.
Aku tahu Ibu mengerti itu.
Karena Ibulah yang mengajariku tentang kewajiban berbakti pada suami. Tidak hanya dengan kata-kata, namun juga dengan teladannya semasa ayahku masih hidup. Aku dapat merasakan, betapa Ibu telah membuktikan cinta dan kesetiannya kepada Ayah, satu-satunya belahan jiwanya. Maka tak heran jika Ibu kerap menyebut nama almarhum Ayah dengan nada kerinduan. Lelaki yang telah mewariskan harta tak ternilai harganya: putra-putri penyejuk hati. Setelah Ayah berpulang, kepada siapa lagi ibu menaruh harapan selain kepada ketiga buah hatinya?
Namun waktu telah mengubah segalanya. Kini sang buah hati tak lagi bisa selalu berada di dekatnya. Maka tak jarang aku mendengar ibu berkata dengan nada sedih, “Rasanya Ibu lebih bahagia waktu kalian masih kecil. Ibu benar-benar dibutuhkan oleh kalian waktu itu. Tapi sekarang…”
Lantas dari mulutnya meluncurlah cerita-cerita kenangan saat aku masih kecil. Saat aku minta diantar pada hari pertama sekolah. Ketika aku minta dipasangkan pita di rambutku. Waktu aku merengek agar dibacakan buku cerita pengantar tidur. Bukan permintaan yang istimewa, namun bagi Ibu itulah masa-masa ketika perannya sebagai seorang bunda benar-benar dibutuhkan.
Sementara itu, di lain waktu Ibu pernah mengeluhkan sikap anak-anaknya yang kerap “melupakannya”. Jarang berkirim kabar, walau sekadar sapaan singkat yang dilayangkan lewat SMS. Mungkin kedengarannya sepele. Tapi bagi ibuku, yang kukenal sebagai wanita yang sangat perasa, itu adalah kenyataan yang menyakitkan. Seakan-akan kami, anak-anak yang dibesarkannya dengan susah-payah, tak lagi membutuhkannya. Tak lagi merindukan dan membutuhkan belai kasihnya.
Diam-diam ada rasa bersalah yang menyelusup ke kisi-kisi hatiku.
Siang semakin menjemput terik. Keruwetan lalu lintas seolah tak berujung. Perjalanan terasa panjang. Aku dan Ibu sama-sama membisu. Kami hanya berbicara dengan bahasa kalbu. Mungkin karena lidah kami sama-sama kelu.
“Tapi walau sedih, Ibu bahagia, Nak,” suara Ibu memecah keheningan. Didekapnya kertas merah jambu itu di dadanya. Seulas senyum menghiasi wajahnya yang teduh. Ibu seperti bisa membaca kegundahan hatiku. Aku tahu Ibu berusaha keras menyembunyikan kesedihannya.
Ah, Ibu. Bunda mana yang tidak bahagia melihat anaknya bahagia? Aku tahu, Ibu adalah orang yang paling berbahagia mengantarkanku melepas sauh untuk mengayuh biduk rumah tangga. Meski restu yang ia beri harus ditukar dengan kesunyian hari-harinya tanpa keberadaan diriku lagi di sampingnya.
Maka hari itu pun aku belajar satu hal lagi tentang keikhlasan seorang bunda, yang di hatinya bermuara telaga bening cinta yang tak pernah kering.